Juara Pimnas yang Pernah Dianggap Gila

Mangrove Rhizophora Chitecture (MRaC) adalah nama tim sekaligus judul karya Program Kreatifitas Mahasiswa Gagasan Tertulis (PKM-GT) yang mendapatkan medali emas pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke-XXIII, akhir Juli 2010 di Bali lalu.
Namun di balik kesuksesanya tersebut, tersimpan kisah unik seperti pernah ditolak dan dianggap gila.
Ketua tim MRaC Arya Brima Nuansa menceritakan, proposal MRaCtimnya pernah tiga kali ditolak dosen. Mereka mengangkap ide Brima dan timnya tidak cocok diterapkan saat ini dan kurang realistis.
“Apa kamu mau kembali ke zaman Tarzan?” tutur Arya Brima Nuansa, menirukan perkataan dosen yang menolak proposalnya. Namun, bukan Brima kalau menyerah begitu saja.
Seperti dikutip dari situs ITS, Senin (30/8/2010), beserta dua orang timnya, Erieta Yustiana dan Mohammad Dhanar tetap melanjutkan idenya.
Mahasiswa jurusan Arsitektur ini menjelaskan, MRaC adalah konsep hunian diatas lahan mangrove, atau bisa disebut Biomaterial Alternatif masa depan. Saat ini belum ada ide pembuatan rumah di atas pohon yang biasannya hidup di tepian pantai ini. Ide ini muncul karena mereka melihat banyaknya penebangan lahan mangrove untuk pembuatan tempat tinggal. Seperti yang terjadi pada kasus reklamasi pantai di Ciputra. Akibatnya seperti tsunami di Bantul, yang disebabkan oleh tidak adanya mangrove di pantai.
Pemuda berkacamata ini mengatakan, saat ini pembangunan pemukiman mengarah ke atas dan terus mengarah menuju pantai, karena daerah dataran semakin sempit. “Dan nantinya, pasti sampai pembuatan hunian di pantai dan resikonya pembabatan lahan mangrove. Itu tidak kami harapkan,” ungkapnya.
Sebenarnya, mangrove berfungsi sebagai tameng dan peredam jika laut mengalami pasang dan pencegah terjadi erosi pantai, termasuk penahan tsunami. Bisa dibayangkan jika mangrove dibabat habis. Hal itulah yang membuat mereka menelurkan ide, pembuatan hunian diatas lahan mangrove tanpa membabat satu pohon sekalipun.
Awalnya mereka tidak percaya kepada seorang anggota tim yang pertama kali melontarkan ide ini, bahwa jika mangrove bisa dijadikan tempat tinggal. Namun setelah mencari tahu dari buku, internet dan survey ke pantai langsung untuk meneliti pohon mangrove. Mereka yakin bahwa pohon mangrove bisa dibuat hunian.
Brian menjelaskan, pohon mangrove sangat mungkin dijadikan hunian karena diameter satu akar nafas pohon mangrove cukup panjang yakni mencapai lima sampai enam meter. “Itu cukup untuk satu bangunan terdiri dari satu kamar, satu kamar mandi, dan satu ruangan cukup besar untuk memasak sekaligus bersantai,” tambahnya.
Selain itu, bangunan tersebut masih bisa dipakai bertingkat, karena kekuatan pondasinya yang dari akar nafas sangat kuat. Ia melanjutkan, kekuatan pondasi satu akar mangrove sama dengan satu tiang pancang. Padahal, dalam satu pohon mangrove terdapat puluhan akar nafas. “Itu bisa membuat bangunan setinggi 30 meter,” imbuhnya.
Banyak cerita menarik yang diperoleh Brian beserta tim saat melakukan riset mangrove. Suatu saat, mereka bahkan pernah dianggap gila oleh warga pesisir Lamongan. Ketika itu, Brian dan timnya melakukan survey mangrove di salah satu pantai di Lamongan. Untuk mengecek apakah yang ditulis di buku benar seperti realnya. Mereka melompat-lompat diatas mangrove untuk melihat kekuatannya. Namun, ketika itu ada beberapa anak kecil melihat yang dilakukan mereka. “Anak-anak meneriaki kita orang gila karena kita dianggap orang aneh,” bebernya.
Brima mengatakan, salah satu poin yang membuat timnya menang adalah konsepnya yang runtut. “Jelas, berdasarkan data dan step by step,” tambahnya. Yaitu dimulai dari sekolah alam untuk memberikan pemahaman tentang pohon mangrove, kemudian eko visata untuk mengkomersialkan dan bisa menguntungkan, penjagaan yang berkelanjutan dan pembangunan bangunan permanen.
“Kita ingin bersahabat dengan alam, sinergi dengan alam untuk kehidupan anak cucu kita yang akan datang,” ungkap mahasiswa yang akan diwisuda Oktober 2010 ini.
Ditanya, digunakan untuk hadiah juara PIMNAS. Pemuda ramah ini menjawab, akan digunakan untuk meneruskan penelitian lebih lanjut. “Juga untuk jalan-jalan dan bayar sumbangan pembinaan pendidikan (SPP),” tutupnya sambil tersenyum.(okezone.com)
Namun di balik kesuksesanya tersebut, tersimpan kisah unik seperti pernah ditolak dan dianggap gila.
Ketua tim MRaC Arya Brima Nuansa menceritakan, proposal MRaCtimnya pernah tiga kali ditolak dosen. Mereka mengangkap ide Brima dan timnya tidak cocok diterapkan saat ini dan kurang realistis.
“Apa kamu mau kembali ke zaman Tarzan?” tutur Arya Brima Nuansa, menirukan perkataan dosen yang menolak proposalnya. Namun, bukan Brima kalau menyerah begitu saja.
Seperti dikutip dari situs ITS, Senin (30/8/2010), beserta dua orang timnya, Erieta Yustiana dan Mohammad Dhanar tetap melanjutkan idenya.
Mahasiswa jurusan Arsitektur ini menjelaskan, MRaC adalah konsep hunian diatas lahan mangrove, atau bisa disebut Biomaterial Alternatif masa depan. Saat ini belum ada ide pembuatan rumah di atas pohon yang biasannya hidup di tepian pantai ini. Ide ini muncul karena mereka melihat banyaknya penebangan lahan mangrove untuk pembuatan tempat tinggal. Seperti yang terjadi pada kasus reklamasi pantai di Ciputra. Akibatnya seperti tsunami di Bantul, yang disebabkan oleh tidak adanya mangrove di pantai.
Pemuda berkacamata ini mengatakan, saat ini pembangunan pemukiman mengarah ke atas dan terus mengarah menuju pantai, karena daerah dataran semakin sempit. “Dan nantinya, pasti sampai pembuatan hunian di pantai dan resikonya pembabatan lahan mangrove. Itu tidak kami harapkan,” ungkapnya.
Sebenarnya, mangrove berfungsi sebagai tameng dan peredam jika laut mengalami pasang dan pencegah terjadi erosi pantai, termasuk penahan tsunami. Bisa dibayangkan jika mangrove dibabat habis. Hal itulah yang membuat mereka menelurkan ide, pembuatan hunian diatas lahan mangrove tanpa membabat satu pohon sekalipun.
Awalnya mereka tidak percaya kepada seorang anggota tim yang pertama kali melontarkan ide ini, bahwa jika mangrove bisa dijadikan tempat tinggal. Namun setelah mencari tahu dari buku, internet dan survey ke pantai langsung untuk meneliti pohon mangrove. Mereka yakin bahwa pohon mangrove bisa dibuat hunian.
Brian menjelaskan, pohon mangrove sangat mungkin dijadikan hunian karena diameter satu akar nafas pohon mangrove cukup panjang yakni mencapai lima sampai enam meter. “Itu cukup untuk satu bangunan terdiri dari satu kamar, satu kamar mandi, dan satu ruangan cukup besar untuk memasak sekaligus bersantai,” tambahnya.
Selain itu, bangunan tersebut masih bisa dipakai bertingkat, karena kekuatan pondasinya yang dari akar nafas sangat kuat. Ia melanjutkan, kekuatan pondasi satu akar mangrove sama dengan satu tiang pancang. Padahal, dalam satu pohon mangrove terdapat puluhan akar nafas. “Itu bisa membuat bangunan setinggi 30 meter,” imbuhnya.
Banyak cerita menarik yang diperoleh Brian beserta tim saat melakukan riset mangrove. Suatu saat, mereka bahkan pernah dianggap gila oleh warga pesisir Lamongan. Ketika itu, Brian dan timnya melakukan survey mangrove di salah satu pantai di Lamongan. Untuk mengecek apakah yang ditulis di buku benar seperti realnya. Mereka melompat-lompat diatas mangrove untuk melihat kekuatannya. Namun, ketika itu ada beberapa anak kecil melihat yang dilakukan mereka. “Anak-anak meneriaki kita orang gila karena kita dianggap orang aneh,” bebernya.
Brima mengatakan, salah satu poin yang membuat timnya menang adalah konsepnya yang runtut. “Jelas, berdasarkan data dan step by step,” tambahnya. Yaitu dimulai dari sekolah alam untuk memberikan pemahaman tentang pohon mangrove, kemudian eko visata untuk mengkomersialkan dan bisa menguntungkan, penjagaan yang berkelanjutan dan pembangunan bangunan permanen.
“Kita ingin bersahabat dengan alam, sinergi dengan alam untuk kehidupan anak cucu kita yang akan datang,” ungkap mahasiswa yang akan diwisuda Oktober 2010 ini.
Ditanya, digunakan untuk hadiah juara PIMNAS. Pemuda ramah ini menjawab, akan digunakan untuk meneruskan penelitian lebih lanjut. “Juga untuk jalan-jalan dan bayar sumbangan pembinaan pendidikan (SPP),” tutupnya sambil tersenyum.(okezone.com)